Tantangan Pengelolalaan Wilayah Perbatasan Negara

Admin Website 01-10-2016 Artikel dan Kegiatan Artikel dibaca : 2243 kali

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang berbatasan dengan 10 (sepuluh) negara tetangga baik di darat maupun di laut. Wilayah laut Indonesia berbatasan dengan Negara India, Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua New Guinea. Sedangkan di wilayah darat Indonesia berbatasan langsung dengan Malaysia, Timor Leste, dan Papua New Guinea. Kawasan perbatasan Indonesia dengan negara tetangga tersebar di 12 provinsi yaitu : (i) NAD, (ii) Sumatera Utara, (iii) Riau, (iv) Kepulauan Riau, (v) Kalimantan Barat, (vi) Kalimantan Timur, (vii) Sulawesi Utara, (viii) Maluku; (ix) Maluku Utara; (x) Nusa Tenggara Timur; (xi) Papua, dan (xii) Papua Barat. Pemerintah RI telah meratifikasi United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Tentang Hukum Laut). Dari 17.504 pulau di Indonesia, terdapat 92 (sembilan puluh dua) pulau-pulau kecil yang dijadikan sebagai titik dasar dan referensi untuk menarik garis pangkal kepulauan yang berbatasan langsung dengan 10 (sepuluh) negara tetangga di wilayah laut yang tersebar pada 10 (sepuluh) provinsi. Setidaknya, terdapat 38 wilayah kabupaten/kota di kawasan perbatasan yang secara geografis dan demografis berbatasan langsung dengan negara tetangga, serta perlu memperoleh perhatian khusus.

Apabila kita memperhatikan kondisi sosial, politik, dan keamanan pada masa lampau, terdapat kesan kuat lebih menekankan pada pendekatan keamanan (security aproach) dibanding dengan peningkatan kesejahteraan (prosperity. Namun pada saat ini dimana situasi kemanan yang semakin kondusif dan adanya proses globalisasi yang ditandai dengan berbagai kerjasama ekonomi baik regional maupun sub-regional, maka pendekatan keamanan perlu disertai dengan pendekatan kesejahteraan secara seimbang. Dipihak lain, beberapa negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Indonesia telah mengembangkan daerah perbatasannya sebagai kawasan pertumbuhan ekonomi yang telah maju dengan berbagai sarana dan prasarana fisik yang lengkap serta sumberdaya manusia yang berkualitas.

Isu pengembangan kawasan perbatasan negara dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi topik yang sering dibicarakan adalah:

  • Kesenjangan sosial ekonomi antara wilayah perbatasan Indonesia dengan wilayah perbatasan negara lain seperti Malaysia berpotensi menimbulkan hal-hal seperti blank post area, illegal logging dan illegal entry.
  • Kurangnya perhatian Pemerintah Indonesia dalam mengelola kawasan perbatasan sering menimbulkan kerugian dalam penyelesaian sengketa.
  • Keputusan Mahkamah Internasional yang menetapkan kepemilikan Malaysia terhadap Pulau Sipadan-Ligitan serta terjadinya konflik batas laut, misalnya klaim Malaysia atas blok Ambalat yang belum terselesaikan hingga kini menimbulkan ketegangan baik politik maupun hankam.
  • Kerusakan lingkungan baik oleh alam maupun sebagai akibat ulah manusia berdampak terhadap berubahnya batas negara di laut yang berpotensi mengurangi luas wilayah.

Pengelolaan wilayah perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar selama ini belum terintegrasi dengan baik, meskipun pemerintah melalui UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dimana Kawasan Perbatasan saat ini telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional dari sudut pandang pertahanan dan keamanan dan perlu dilakukan pengelolaan kawasannya secara khusus dalam rangka menjaga kedaulatan Negara dan selanjutnya dipertegas kembali dengan terbitnya Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.

B. Potensi dan Permasalahan Pengelolaan Kawasan Perbatasan

Kawasan perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar, memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang sangat besar yang dapat dioptimalkan pemanfaatannya untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, kawasan perbatasan merupakan kawasan yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara. Potensi yang dimiliki oleh kawasan perbatasan bernilai ekonomis yang sangat besar, terutama potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan (hutan, tambang dan mineral, perikanan dan kelautan) yang terbentang di sepanjang dan di sekitar perbatasan. Sebagian besar dari potensi sumberdaya alam tersebut belum dikelola dan sebagian lagi merupakan kawasan konservasi atau hutan lindung yang memiliki nilai sebagai “paru-paru dunia‟ (world heritage) yang perlu dijaga dan dilindungi. Namun demikian, hingga saat ini kondisi perekonomian sebagian besar wilayah di kawasan perbatasan tersebut masih relatif tertinggal jika dibandingkan dengan pembangunan di wilayah lain. Di beberapa kawasan terjadi kesenjangan pembangunan kawasan perbatasan dengan negara tetangga. Kondisi ini pada umumnya disebabkan oleh masih terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana sosial ekonomi seperti sarana dan prasarana perhubungan, telekomunikasi, permukiman, perdagangan, listrik, air bersih, pendidikan, dan kesehatan. Keterbatasan sarana dan prasarana sosial ekonomi di kawasan perbatasan tersebut menyebabkan minimnya kegiatan investasi, rendahnya optimalisasi pemanfaatan SDA, rendahnya penciptaan lapangan pekerjaan, sulit berkembangnya pusat pertumbuhan, keterisolasian wilayah, ketergantungan masyarakat terhadap pelayanan sosial ekonomi dari negara tetangga, tingginya biaya hidup, serta rendahnya kualitas sumberdaya manusia.

Pengembangan perekonomian kawasan perbatasan perlu dilakukan secara seimbang dengan pengelolaan aspek keamanan yang juga sering muncul sebagai isu krusial di kawasan ini. Kegiatan eksploitasi SDA secara ilegal oleh pihak asing, seperti illegal logging dan illegal fishing, masih marak terjadi dan menyebabkan degradasi lingkungan hidup. Adanya kesamaan budaya dan adat antara masyarakat di kedua negara serta faktror kesenjangan ekonomi menyebabkan munculnya mobilitas penduduk lintas batas yang memerlukan penanganan khusus. Lemahnya sistem pengawasan di kawasan perbatasan menyebabkan adanya potensi kerawanan kawasan ini terhadap transnasional crime. Permasalahan lain yang tidak dapat dilepaskan dalam pengelolaan kawasan perbatasan adalah belum disepakatinya penetapan wilayah negara di beberapa segmen batas darat dan laut melalui kesepakatan dengan negara tetangga. Kerusakan atau pergeseran sebagian patok-patok batas darat sering menyebabkan demarkasi batas di lapangan menjadi kabur. Perlu diperhatikan pula eksistensi pulau-pulau terluar yang menjadi lokasi penempatan Titik Dasar/Titik Referensi sebagai acuan dalam menarik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

C. Strategi Pengelolaan Kawasan Perbatasan

Untuk menjadikan kawasan perbatasan sebagai kawasan beranda depan yang berinteraksi positif dengan negara tetangga, diperlukan upaya dan komitmen dari seluruh komponen bangsa, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, legislatif, dunia usaha, masyarakat adat dan sebagainya. Dari pemerintah diperlukan adanya kebijakan nasional dan strategi pengembangan serta investasi sarana dan prasarana fisik dasar seperti jalan, pelabuhan, air bersih, listrik dan sebagainya. Pihak legislatif perlu mendukung setiap kebijakan dan peraturan yang berkaitan dengan pengembangan kawasan perbatasan, sedangkan dari dunia usaha diperlukan dukungan investasi bagi pengembangan pertumbuhan ekonomi seperti kawasan-kawasan perdagangan, berikat, industri, pariwisata, dan kawasan lainnya. Bagi masyarakat di sekitar perbatasan seperti masyarakat adat, perlu diikutsertakan secara aktif dalam setiap pengambilan keputusan karena mereka merasa memiliki hak-hak ulayat yang telah ada sejak sebelum Republik berdiri. Strategi pengembangan kawasan perbatasan secara umum meliputi: 1). Menjadikan kawasan perbatasan sebagai pintu gerbang ke negara tetangga; 2). Membangun kawasan perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity), keamanan (security), dan lingkungan (environment) secara serasi; 3). Mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di kecamatan-kecamatan yang langsung berbatasan secara selektif dan bertahap sesuai prioritas dan kebutuhan; 4). Meningkatkan perlindungan sumberdaya alam hutan tropis (tropical forest) dan kawasan konservasi, serta mengembangkan kawasan budidaya secara produktif bagi kesejahteraan masyarakat local; 5). Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) melalui pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, perhubungan dan informasi; 6). Meningkatkan kerjasama pembangunan di bidang sosial, budaya, keamanan dan ekonomi dengan negara tetangga melalui forum SOSEK MALINDO (Sosial Ekonomi Malaysia Indonesia) dan Kerjasama Ekonomi sub Regional IMT GT (Indonesia-Malaysia-Thailan Growth Triangle). Strategi ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Beberapa hal pokok yang diatur antara lain: (1) pengaturan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi, dan daerah dalam pengelolaan batas wilayah dan kawasan negara. Pemda memiliki kewenangan besar dalam upaya pembangunan sosial dan ekonomi; (2) mengamanatkan pembentukan Badan Pengelola di tingkat Pusat dan Daerah sebagai upaya untuk meningkatkan sinergitas pembangunan antarsektor dan antara pusat-daerah. Badan ini yang diberi tugas untuk mengelola Batas Wilayah dan Kawasan Perbatasan dalam hal penetapan kebijakan dan program, penetapan rencana kebutuhan anggaran, pengkoordinasian pelaksanaan dan pelakanaan evaluasi, dan pengawasan; serta (3) perumusan keikutsertaan masyarakat dalam menjaga dan mempertahankan wilayah negara termasuk kawasan perbatasan.

D. Tantangan dan Implikasi pengelolaan perbatasan Provinsi Riau

Kawasan perbatasan darat dan laut yang ditangani oleh Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan/BNPP cukup luas, terutama laut - yang ada di 12 Provinsi (Cakupan Wilayah Administratif/CWA) di Inonesia, mencakup 38 Kabupaten/Kota (Wilayah Konsentrasi Pembangunan/WKP) dan 111 Kecamatan (Lokasi Prioritas) tahun 2011-2014 menjadi 187 Kecamatan (Lokasi Prioritas) tahun 2014-2019. Ini merupakan tantangan yang memiliki kompleksitas cukup tinggi, tidak hanya mencakup luas wilayahnya saja (spasial), namun ada kaitannya dengan sebaran wilayahnya - dalam bentang yang cukup luas, dengan segala keterbatasan sarana transportasi, khususnya transportasi laut. Sejarah telah membuktikan bahwa masalah pengelolaan kawasan perbatasan merupakan hal prinsip, secara de facto lepasnya Pulau Sepadan dan Ligitan - karena pihak Malaysia sudah lebih dulu "mengelolanya". Kita tidak ingin masalah ini terulang kembali; pepatah bijak mengatakan "belajarlah dari sejarah" dan "jangan lupakan sejarah". Keberadaan BNPP dan Badan Pengelola Perbatasan Daerah sudah merupakan langkah yang tepat - sebagai institusi yang secara khusus mengelola pembangunan dan pembinaan masyarakat di kawasan perbatasan; namun masalahnya adalah keterbatasan wewenang.

Apabila mempertimbangkan secara bijak kompleksitas permasalahan pengelolaan kawasan perbatasan, dengan segala implikasinya, baik dilihat secara sosial-ekonomi, politis dan pertahanan/keamanan, pembentukan Badan Otoritas Khusus adalah relevan, tanpa harus membentuk institusi baru - cukup hanya memberikan perluasan kewenangan pengelolaan, tidak semata-mata hanya berwewenang sebagai koordinasi, akan tetapi ada pula kewenangan implementasi (eksekusi). Keberadaan BNPP ditingkat pusat, dan BPPD Provinsi/Kabupaten/Kota di daerah merupakan mata rantai organisasi pemerintahan yang telah diatur kewenangannya berdasarkan peraturan perundangan tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Keberadaan BNPP tetap melaksanakan peran dan fungsi yang telah diatur dalam Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2010 tentang BNPP - penekanannya ada pada fungsi koordinasi - pada tataran dearah dapat melaksanakan fungsi implementasi. Antara BNPP dan BPPD fungsi koordinasi dilaksanakan secara intens - dalam konteks pelaksanaan program pembangunan yang menjadi prioritas bersama. Upaya membuka isolasi kawasan perbatasan harus diatasi dengan membangun infrastruktur transportasi dan komunikasi, termasuk dukungan energi kelistrikan yang berkesinambungan, sehingga dibutuhkan pembiayaan yang besar dan waktu relatif lama, karena pelaksanaannya dilakukan secara bertahap (multi years program).

Provinsi Riau merupakan salah satu wilayah penting dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berbatasan laut langsung dengan negara lain, yaitu Malaysia, Singapura, Thailan dan Vietnam. Posisi geografisnya yang demikian membuat Provinsi Riau masuk dalam desain pembangunan kawasan perbatasan yang strategis untuk dikembangkan. Hal itu tidak hanya berkaitan dengan sejauh mana Pemerintah Provinsi Riau ikut berkontribusi terhadap upaya pemerintah pusat untuk melakukan delimitasi, delineasi, demarkasi dan masalah-masalah yang bersifat struktural-administratif, melainkan juga bagaimana mengembangkan kawasan perbatasan di Provinsi Riau sebagai Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) yang menopang pencapaian kepentingan nasional Indonesia di kawasan tersebut. Provinsi Riau memiliki 22 (Dua puluh dua) Kecamatan yang berbatasan langsung dengan kawasan perbatasan dan 22 (Dua puluh dua) Kecamatan yang masuk ke dalam lokasi prioritas yang masuk dalam agenda BNPP. Didalam menyikapi tantangan pembangunan dan pengembangan wilayah perbatasan yang dimiliki,  maka dibentuklah Badan Pengelola Perbatasan Daerah Provinsi Riau melalui Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Lembaga Teknis Daerah Provinsi Riau

Atas dasar alasan inilah, maka upaya pengelolaan aspek penciptaan kesejahteraan (welfare aspecs) - melalui percepatan pembangunan di kawasan perbatasan khususnya di Provinsi Riau harus dilaksanakan secara terintegrasikan dalam satu institusi yang diberikan perluasan kewenangan mengelola pelaksanaan teknis pembangunan - sekali lagi disini ditegaskan bahwa hakekat perluasan kewenangan tadi tidak merubah struktur kelembagaan sebagai BPPD dan masih dalam koridor hubungan kerja dengan BNPP. Perluasan kewenangan bagi BPPD sebagai Badan Otoritas Khusus - untuk melaksanakan pula fungsi pelaksanaan (implementasi), didasarkan pada prinsip-prinsip, sebagai berikut :

  1. Fungsi pelaksanaan yang melengkapi fungsi koordinasi BPPD masih ada keterkaitan (linkage) dengan program-program pembangunan yang digariskan oleh BNPP melalui penetapan rencana induk dan rencana aksi (pasal 4 huruf a Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2010), dan sesuai dengan kewenangan daerah;
  2. Pelaksanaan program tahunan yang merupakan bagian dari kesepakatan program yang mendapatkan prioritas BNPP (pasal 19, 20 ayat 2 dan 21 Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2010);
  3. Merupakan pelaksanaan program yang bersifat residual; dalam artian bahwa implikasi dari penetapan program pembangunan tersebut sebagai prioritas pembangunan di kawasan perbatasan, maka apabila tidak ada Instansi Pemerintah teknis/sektoral yang melaksanakannya (termasuk menganggarkan pembiayaannya), maka BPPD dapat mengambilalih pelaksanaannya;
  4. Untuk melengkapi prinsip residual diatas, dalam pelaksanaan program pembangunan di kawasan perbatasan, menerapkan pula prinsip temporer - yang dimaksudkan sebagai pelaksanaan program yang bersifat sementara waktu; Apabila Instansi teknis/sektoral terkait sudah siap untuk melaksanakannya, maka program tersebut dapat dialihkan pelaksanaannya pada tahapan berikutnya, dan harus menjadi lebih baik lagi hasilnya;
  5. Sejalan dengan prinsip temporer diatas, pelaksanaan program pembangunan di kawasan perbatasan oleh BPPD menganut prinsip rintisan - melaksanakan program prioritas yang belum pernah dilaksanakan oleh Instansi teknis/sektoral lainnya.
  6. Pelaksanaan program pembangunan secara teknis didukung dengan kemampuan sumber daya Aparatur BPPD, baik secara internal maupun dukungan dari Aparatur Instansi teknis/sektoral; ini merupakan prinsip kapabilitas.

Dari keenam prinsip tersebut diatas dapat dirunut pokok pemikirannya; bahwa perluasan kewenangan BPPD masih dalam koridor yang dapat dibenarkan, karena:

Pertama, program prioritas pembangunan yang dilaksanakan didukung oleh dokumen perencanaan yang merupakan strategi nasional (dibawah koordinasi BNPP);

Kedua, perwilayahan pembangunan pada kawasan perbatasan yang sudah didefinisikan menurut Undang-Undang No. 43 Tahun 2008, yaitu Kecamatan di perbatasan yang telah ditetapkan sebagai Lokasi Prioritas;

Ketiga, prinsip residual dan temporer, pada dasarnya memberikan kesempatan Instansi teknis/sektoral sebagai leading sector dalam mendukung percepatan pembangunan di kawasan perbatasan - Apa yang dilakukan BPPD hanya bersifat sementara waktu, mengisi pelaksanaan program yang mendesak dan dibutuhkan masyarakat setempat. Dalam kaitan ini, tidak menutup kemungkinan bahwa program tersebut merupakan rintisan, yang selanjutnya apabila sudah cukup mapan dan berjalan dengan baik, disamping adanya kesiapan Instansi teknis/sektoral-nya, maka sudah menjadi kewajiban BPPD memberikan kesempatan untuk diambilalih - tentunya pengambilalihan ini harus ada kelanjutan pelaksanaannya dilapangan (konsistensi program) dan menciptakan hasil yang lebih baik.

Pembentukan Badan Otoritas Khusus Pengelola Perbatasan dasar pemikirannya sangat realistis, karena realitas di lapangan acapkali terjadi lemahnya peran dari fungsi koordinatif BNPP/BPPD; disebabkan setiap Instansi berkepentingan untuk melaksanakan peran dan fungsi sektoral-nya dengan baik, serta berkepentingan untuk mencapai sasaran program yang sudah tertuang dalam RPJM Nasional/Daerah dan RENSTRA sektoral-nya masing-masing, walaupun kesepakatan wilayah (spasial) pembangunannya sama, yaitu di kawasan perbatasan. Namun dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2016 Tentang Organisasi Perangkat Daerah keberdaan Badan Pengelola Perbatasan di Daerah dimungkinkan untuk mengalami perubahan.