STRATEGI PENINGKATAN PRODUKSI PERIKANAN DI PROVINSI RIAU

23-06-2023 Artikel dan Kegiatan Artikel dibaca : 411 kali

Provinsi Riau memiliki potensi sumber daya perikanan yang besar, namun pada saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi ikan di dalam daerah. Hal ini disebabkan karena beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan konsumsi ikan pada masyarakat, namun di sektor produksi belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi tersebut. Produksi perikanan pada Tahun 2018 hanya mampu memenuhi kebutuhan konsumsi ikan 0.88, menurun Tahun 2019 menjadi 0.75, Tahun 2020 menjadi 0.81, Tahun 2021 naik menjadi 0.85 dan 0.89 pada Tahun 2022.

Di sisi lain, telah terjadi penurunan produksi pada perikanan tangkap selama 5 tahun terakhir sebesar -3,20%, yakni dari produksi sebesar 143.921,39 ton Tahun 2018 menjadi 139.309,64 ton pada Tahun 2022. Dilihat dari perkembangan produksi pertahun, terjadi penurunan produksi tertinggi pada tahun 2019 yakni sebesar -3.75% dibandingan Tahun 2020. Tahun 2020 kembali menurun sebesar -2,57% dibandingkan produksi  Tahun 2019. Kemudian terjadi sedikit peningkatkan pada Tahun 2021 dan 2022 yakni masing-masing 2,41% dan 0,79%.

Sementara itu perikanan budidaya, sampai saat ini belum mampu menggantikan posisi perikanan tangkap sebagai penyumbang produksi perikanan terbesar di Provinsi Riau. Dari total produksi perikanan di Provinsi Riau pada Tahun 2022 sebesar 259.629,14 ton, kontribusi perikanan tangkap sebesar  139.309,64 ton atau 53,66%, sedangkan produksi perikanan budidaya 120,319.50 ton atau 46,34%.

Potensi perikanan budidaya di Provinsi Riau sangat besar, namun tingkat pemanfaatannya sangat kecil. Potensi luas lahan budidaya perikanan di Provinsi Riau sebesar 1.050.756,37 hektar, terdiri dari potensi lahan budidaya laut 178.326,18 Ha, potensi lahan budidaya payau atau tambak 180.990,10 hektar dan potensi lahan budidaya air tawar seluas 691.440,09 hektar (KKP, 2023). Namun tingkat pemanfaatannya masih sangat rendah yakni 2.540,23 hektar atau 0,24% dari potensi lahan yang tersedia (DKP Riau, 2023).

Berdasarkan kondisi tersebut, yang menjadi pertanyaan adalah :

  1. Mengapa produksi perikanan tangkap di Provinsi Riau cenderung terjadi penurunan ?
  2. Mengapa tingkat pemanfaatan potensi sumber daya perikanan budidaya di Provinsi Riau masih sangat rendah ? 
  3. Bagaimana arah kebijakan dan strategi untuk meningkatkan produksi perikanan di Provinsi Riau ?

TERJADI PENURUNAN PRODUKSI PERIKANAN TANGKAP DI PROVINSI RIAU

Berdasarkan data dari berbagai sumber resmi menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan jumlah produksi perikanan tangkap di Provinsi Riau. Penurunan produksi perikanan tangkap tersebut tak terlepas dari berbagai isu dan permasalahan diantaranya adalah :

  1. Tingkat pemanfaatan sumber daya ikan sudah pada kategori padat tangkap dan lebih tangkap.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 29/MEN/2012, telah mengatur tentang tingkat pemanfaatan sumber daya ikan (SDI) dalam 3 kategori yaitu: 1) over-exploited, apabila jumlah tangkapan kelompok sumber daya ikan per tahun melebihi estimasi potensi yang ditetapkan, 2) fully-exploited apabila jumlah tangkapan kelompok sumber daya ikan per tahun berada pada rentang 80% – 100% dari estimasi potensi yang ditetapkan, dan 3) moderat, apabila jumlah tangkapan kelompok sumber daya ikan per tahun belum mencapai 80% dari estimasi potensi yang ditetapkan.

Wilayah penangkapan ikan perairan laut di Provinsi Riau berada pada 2 (dua) Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), yakni WPP-571 dan WPP-711. Perairan laut Provinsi Riau yang masuk pada WPP-571 adalah perairan laut di wilayah Rokan Hilir, Kota Dumai, Kab. Bengkalis, Siak, dan Kep. Meranti. Sedangkan yang masuk WPP-711 adalah perairan laut di wilayah Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Indragiri Hilir.

Berdasarkan KepMen KP Nomor 19 Tahun 2022 tentang estimasi dan tingkat pemanfaatan SDI, menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan di WPP-571 sebanyak 5 (lima) kelompok SDI telah terjadi lebih tangkap (over exploited), 2 (dua) kelompok pada kategori padat tangkap (fully exploited) dan 2 (dua) kelompok pada kategori moderate. Sedangkan di WPP-711, terdapat 3 (tiga) kelompok SDI pada kategori over-exploited, 5 (lima) kelompok pada kategori fully-exploited, dan hanya 1 (satu) kelompok yang berada pada tingkat moderate.

Berdasarkan data tersebut bahwa sebagian besar sumber daya ikan di perairan laut Provinsi Riau telah terjadi kondisi lebih tangkap (over exploited) dan jenuh tangkap (fully exploited). Menurut Coleman dan William (2002), kelebihan tangkap (overfishing) telah menjadi permasalahan utama pada lingkungan laut akibat aktivitas penangkapan secara berlebihan yang telah menyebabkan penurunan populasi, penurunan keanekaragaman spesies dan genetik, serta konsekuensi yang luas terhadap kerusakan tingkat tropik dan ekosistem.

Dalam hal tingkat pemanfaatan (TP) sumber daya ikan dikategorikan over-exploited, perlu dilakukan pengurangan kegiatan penangkapan ikan dalam rangka mengembalikan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Jika pada kategori fully-exploited, dilakukan pengaturan dalam rangka mempertahankan tingkat optimal pemanfaatan sumber daya ikan dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Sedangkan kategori moderate, dapat dilakukan pengembangan kegiatan penangkapan ikan dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya.

  1. Skala usaha perikanan tangkap didominasi oleh nelayan kecil

Nelayan kecil adalah nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar 10 (sepuluh) gros ton (GT) (UU No. 7 Tahun 2016).

Berdasarkan data KKP (2023) dan DKP Riau (2023), jumlah kapal penangkap ikan di Provinsi Riau adalah sebanyak 26.645 unit, terdiri dari kapal penangkap ikan di laut dan perairan umum daratan (PUD). Berdasarkan ukurannya, 98,01% nelayan di Provisi Riau  menggunakan kapal berukuran kurang dari 10 GT, dimana 35,30% menggunakan perahu tanpa motor (PTM), 34,36% perahu motor tempel (PMT), 23,20% menggunakan kapal motor (KM) < 5 GT dan menggunakan KM < 10 GT sebanyak  5,15%

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa usaha perikanan tangkap di Provinsi Riau didominasi oleh nelayan skala kecil dengan teknologi yang sederhana dan  yang umumnya erat dengan kemiskinan. Nelayan skala kecil dengan alat tangkap yang sederhana, jangkauan yang terbatas serta penurunan kualitas sumber daya di kawasan pesisir akan sulit untuk dapat meningkatkan hasil produksinya. Hal ini sejalan dengan Widodo (2009) bahwa nelayan kecil hanya mampu memanfaatkan sumber daya di daerah pesisir dengan hasil tangkapan yang cenderung terus menurun akibat persaingan dengan kapal besar dan penurunan mutu sumber daya pesisir.

  1. Masih terjadi praktek IUU Fishing

Menurut International Plan Of Action (IPOA) (2001), Illegal, Unreported, Unregulated (IUU)-Fishing merupakan suatu kegiatan perikanan yang dilakukan secara tidak sah, kegiatan yang tidak diatur oleh peraturan yang ada, atau aktivitasnya tidak dilaporkan kepala suatu institusi atau lembaga pengelola perikanan yang telah tersedia.

Prakte-praktek IUU fishing masih banyak terjadi dalam pegelolaan sumber daya perikanan di Provinsi Riau, selain berdampak terhadap kerusakan terhadap habitat maupun sumber daya ikan, juga sering menjadi penyebab terjadinya konflik antar nelayan di Provinsi Riau.

Menurut DKP (2023), jumlah kasus IUU fishing di Provinsi Riau yang telah diproses sejak Tahun  2018 s/d 2022 adalah sebanyak 37 kasus. Jumlah tertinggi terjadi pada Tahun 2019 sebanyak 9 kasus, dan terendah pada Tahun 2022 sebanyak 4 kasus. Kasus pelanggaran yang terjadi antara lain ; penangkapan ikan yang tidak memiliki izin, kasus penangkapan ikan yanag dilindungi (ikan terubuk), surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan surat izin usaha penangkapan (SIUP) yang sudah habis masa berlaku, dan kasus penangkapan ikan di WPPNRI dan penggunaan alat tangkap yang dilarang oleh nelayan asing (Malaysia). Adapun tidak lanjut penyelesaiannya ada yang berupa teguran dengan surat peringatan (surat pernyataan), sampai dengan proses hukum.

Kerugian yang terjadi akibat tindakan illegal fishing yaitu dapat mengakibatkan kerusakan pada habitat, sumber daya ikan menjadi berkurang, polusi laut, kelangkaan keanekaragaman hayati dan juga dampak ekonomi dan sosial lainnya (Nugroho, 2022).

  1. Degradasi lingkungan perairan dan ekosistem wilayah pesisir

Lingkungan perairan dan ekosistem wilayah pesisir memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan biota laut diantaranya ekosistem mangrove.  Menurut Soeroyo et al., (1993), ekosistem mangrove merupakan area pemijahan (spawning groud), daerah asuhan (nursery ground), tempat mencari makan. Lebih dari 80 % komoditas ikan komersil yang tertangkap di perairan pantai berhubungan erat dengan rantai makanan yang terdapat dalam ekosistem mangrove, dengan 70 % merupakan area siklus hidup udang dan ikan yang tertangkap di daerah estuaria.

Kerusakan lingkungan perairan dan ekosistem wilayah pesisir sampai saat ini belum mampu ditanggulangi secara optimal. Hal ini dapat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan, udang dan biota laut lainnya baik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan rantai makanan pada ekosistem tersebut.

Pada Tahun 1990 luas kawasan hutan mangrove di Provinsi Riau adalah 196.522 ha, sedangkan pada Tahun 2019 tersisa menjadi 158.053 ha. Dalam kurun waktu dua puluh sembilan tahun telah berkurang sebanyak 38.943 ha atau 19,77%. Penurunan luas hutan mangrove ini disebabkan karena terjadinya alih fungsi lahan dan penebangan liar. Akibat dari kerusakan ekosistem mangrove ini menyebabkan terjadinya abrasi pantai di beberapa pulau di Kabupaten Bengkalis, Kepulauan Meranti dan Indragiri Hilir (Peraturan Gubernur Riau Nomor 9 Tahun 2021).

Dari berbagai penyebab kerusakan lingkungan laut dan pesisir, pencemaran merupakan faktor yang paling berdampak buruk tidak saja dapat merusak atau mematikan biotik (hayati) perairan, kerusakan terumbu karang dan dapat membahayakan kesehatan manusia yang memanfaatkan biota atau perairan yang tercemar.

Kerusakan mangrove dan terumbu karang  telah mengakibatkan berbagai macam dampak kerugian, diantaranya menurunnya produksi sumber daya perikanan, mempercepat abrasi pantai serta dampak lingkungan lainnya.

TINGKAT PEMANFAATAN POTENSI SUMBER DAYA PERIKANAN BUDIDAYA SANGAT RENDAH

Provinsi Riau memiliki potensi sumber daya perikanan budidaya yang cukup besar. Menurut DKP Riau  (2023), total potensi luas lahan budidaya perikanan di Provinsi Riau adalah sebesar 278.298,81 ha, namun tingkat pemanfaatannya masih sangat rendah yakni 2.540,23 ha atau sekitar 0,91%. Tingkat pemanfaatan paling rendah pada budidaya laut 0,07% dari potensi seluas 169.030,68 ha, budidaya air tawar 1,97% dari potensi seluas 74.048,56 ha. Sedangkan budidaya air payau sebesar 2,21% dari potensi seluas 35.219,57 ha.

Masih rendahnya tingkat pemanfaatan potensi sumber daya perikanan budidaya ini berdampak terhadap rendahnya produksi perikanan dalam memenuhi kebutuhan konsunsi ikan di dalam daerah. Beberapa faktor penyebab masih rendahnya tingkat pemanfaatan potensi sumber daya perikanan budidaya ini antara lain adalah :

  1. Membutuhkan modal usaha yang besar

Usaha budidaya perikanan membutuhkan modal usaha yang besar. Hal ini sering kali menjadi kendala bagi pelaku usaha untuk memulai usaha maupun mengembangkan usaha budidaya perikanan. Modal usaha yang dibutuhkan untuk memulai sebuah usaha budidaya ikan patin di kolam dengan kapasitas 150.000 ekor benih, membutuhkan modal usaha sebesar Rp 1.179.580.000 yang terdiri dari biaya investasi Rp 85.500.000 dan biaya operasional tahun pertama sebesar Rp 1.094.080.000. (PerMenKP Nomor 60/PERMEN-KP/2020).

Hal yang sama untuk usaha budidaya laut dengan sistem keramba jaring apung ukuran 4x4 m sebanyak 4 kantong, membutuhkan modal sebesar Rp 625.736.350 yang terdiri dari biaya investasi sebesar Rp 177.400.000 dan biaya operasional tahun pertama sebesar Rp 508.336.350. Modal usaha yang lebih besar dibutuhkan untuk usaha budidaya udang vanamae di tambak, yakni sebesar Rp 1.766.810.000 yang terdiri dari biaya investasi sebesar Rp 288.500.000 dan biaya operasional tahun pertama sebesar Rp 1.478.310.000.

Komponen biaya terbesar pada usaha budidaya perikanan adalah biaya pakan. Pada perhitungan usaha budidaya ikan patin di kolam komponen biaya pakan menyerap 88,10% dari biaya operasional. Hal yang sama dengan usaha budidaya udang vanamae dimana 77,62% dari biaya operasional terserap untuk biaya pakan. Besarnya komponen biaya pakan disebabkan karena semakin tingginya harga pakan komersial di pasaran. Hal ini menyebabkan keuntungan usaha budidaya perikanan semakin kecil. Hal ini berdampak terhadap animo masyarakat untuk mengembangkan usaha di sektor perikanan budidaya.

Walaupun membutuhkan modal usaha yang besar, namun di sisi lain pelaku usaha sektor perikanan adalah yang paling kecil dalam memanfaatkan fasilitas pembiayaan dari perbankan. Menurut data Kemenko Bidang Perekonomian (2023) bahwa dari total Rp 15,898 trilyun penyaluran KUR sampai bulan Januari 2020, realisasi kredit sektor perikanan hanya sebesar 1,80% jauh lebih kecil dibandingkan sektor pertanian, perburuan dan kehutanan 20,09%, sektor industri pengolahan 11,67%, sektor perdagangan 42,32% dan sektor lainnya 15,97%.

  1. Produksi hasil budidaya perikanan masih ditujukan untuk kebutuhan pasar lokal dan dalam negeri.

Jumlah produksi perikanan budidaya di Provinsi Riau pada Tahun 2021 sebesar 107.077,77 ton dengan rata-rata pertumbuhan 3,58% pertahun selama 10 tahun terakhir. Berdasarkan jenis komoditasnya, jumlah produksi yang memberikan kontribusi terbesar adalah ikan patin 29,17%, ikan lele 26,59% dan ikan nila 21,31%.  Jika dilihat dari pasar produk perikanan budidaya tersebut hanya ditujukan untuk pasar lokal dan pasar dalam negeri yang hampir jenuh. Sementara produk perikanan budidaya Provinsi Riau belum mampu memanfaatkan peluang pasar global yang sangat besar, kecuali jenis komoditas udang vanamae yang kontibusinya hanya 2,10%.

  1. Daya saing produk di tingkat global masih rendah

Potensi perdagangan ikan patin di pasar global terutama Amerika, Eropa dan Asia sangat besar yakni 424.626 ton pertahun. Produk yang diperdagangkan 92% dalam bentuk fillet, sisanya utuh beku, dan sedikit produk olahan. Sampai saat ini, 90 % pasokan fillet patin dunia masih dikuasai oleh Vietnam, sedangkan sisa 10% dibagi ke Bangladesh, Myanmar dan China. Sedangkan Indonesia belum mampu menembus pasar fillet patin dunia (TrobosAqua, 2016).

Potensi pasar global yang cukup besar belum mampu dimanfaatkan oleh pelaku usaha lokal. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya adalah daya saing produk yang masih rendah. Rendahnya daya saing produk patin Indonesia umumnya disebabkan karena ; a. biaya produksi yang tinggi menyebabkan harga jual produk tidak kompetitif, b. produktivitas usaha budidaya rendah, c. standar produk tidak sesuai yang diinginkan pasar seperti daging yang berwarna lebih putih, c. masih lemah dalam penerapan mutu produk, d. belum efisien dalam produksi.

Biaya produksi komoditas perikanan budidaya di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara kompetitor seperti Vietnam sehingga harga jual produk lebih murah. Di Vietnam harga ikan patin segar hanya Rp 12.000/kg, sementara di Indonesia bisa mencapai Rp 15.000 bahkan sampai Rp 17.000/kg. (TrobosAqua, 2016). Pada aspek produktivitas usaha juga masih rendah berkisar  175-200 ton/ha dengan padat tebar  15-20 ekor/m2, jauh tetinggal dibanding Vietnam dengan produktivitas   450-550 ton/ha dan padat tebar benih 40-50 ekor/m2 (Lukita, 2023).

Daging ikan patin lokal (jambal) mengandung asam lemak tidak jenuh ganda (Polyunsaturated Fatty Acid/PUFA) dan asam amino yang lebih tinggi dibanding patim siam asli Thailand. PUFA terbukti dapat menurunkan risiko diabetes serta kanker. Namun patin lokal berwarna lebih merah sementara pasar patin dunia lebih menyukai daging berwarna putih yang bisa dipenuhi oleh industri patin di Vietnam. Pelaku industri patin di Vietnam juga lebih efisien dengan menerapkan zero waste system, dimana sisa tulang, kepala, dan kulit menjadi produk yang benilai tambah tinggi, sehingga nilai keekonomiannya lebih tinggi dan total biaya produksi bisa ditekan lebih rendah.

  1. Industri pengolahan belum berkembang

Pembangunan industri pengolahan perikanan memiliki peranan penting dalam mendukung pengembangan sektor kelautan dan perikanan. Industri perikanan mendorong peningkatan skala produksi, peningkatan kualitas  dan produktivitas, daya saing, serta nilai tambah sumber daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. Penyediaan bahan baku bagi industri secara langsung dapat meningkatkan produksi perikanan pada suatu wilayah.

Pembangunan industri perikanan telah menjadi perhatian serius dari pemerintah, sehingga perlu diterbitkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembanguan Industri Perikanan Nasional yang  ditujukan kepada 16 Menteri dan Menteri Koordinator terkait, 7 Pimpinan Lembaga setingkat Menteri, dan seluruh Gubernur, Bupati dan Walikota se-Indonesia. Selanjutnya kembali terbit Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2017 tentang Rencana Aksi Percepatan Pembangnan Industri Perikanan Nasional.

Namun terbitnya Instruksi Presiden dan Peraturan Presiden tersebut belum mampu mendorong terbangunnya industri/perusahaan pengolahan ikan skala menengah dan besar di Provinsi Riau. Industri pengolahan perikanan sedang/besar di Indonesia sebanyak 844 unit Sebagian besar terpusat di Pulau Jawa, yakni Jawa Timur 285 unit, Jawa Tengah 238, Jawa Barat 71, dan sisanya tersebar di 23 provinsi lainnya (Anam dan Prihatini, 2021). Dari data tersebut tidak ada satupun industri perikanan sedang/besar yang berlokasi di Provinsi Riau.

Demikian pula dengan industri filet patin, dari 10 perusahaan, sebagian besar dibangun pada daerah yang bukan sentra produksi patin seperti Jawa Timur (5 unit), Jakarta, Lampung dan Sumatera Utara (masing-masing 1 unit) dan 2 unit di Jawa Barat (Suhendra, et. al., 2017). Tantangan industri filet yang dibangun di daerah yang bukan sentra produksi patin biaya logistik menjadi tinggi sehingga berdampak terhadap harga jual produk yang tidak kompetitif.

Provinsi Riau sebagai salah satu dari lima daerah penghasil patin terbesar di Indonesia perlu didorong untuk segera dapat membangun industri pengolahan patin sehingga dapat berdampak bagi pengembangan sektor produksi, penyerapan tenaga kerja, peningkatan kesejahteraan pelaku usaha serta meningkatkan devisa negara.

ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI PERIKANAN DI PROVINSI RIAU.

Tujuan pengelolaan perikanan diantaranya adalah untuk meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing; dan untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidaya ikan, dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal. Berdasarkan tujuan pengelolaan sumber daya perikanan dab hasil analisis terhadap isu dan permasalahan yang dihadapi, maka untuk direkomendasikan arah kebijakan dan strategi untuk meningkatkan produksi perikanan di Provinsi Riau sebagai berikut :

  1. Arah kebijakan : “Pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap yang terkendali dan berkelanjutan”. Adapun strategi yang dapat dilakukan adalah melalui :
  1. Melakukan penataan kembali armada dan alat penangkapan ikan sesuai potensi sumber daya ikan.
  2. Mengembangkan perikanan tangkap ke kawasan ZEEI dan laut lepas.
  3. Meningkatkan akses pembiayaan bagi nelayan dan pengolah ikan.
  4. Meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan.
  5. Optimalisasi pengelolaan perikanan tangkap perairan umum daratan (PUD).
  6. Mengembangkan mata pencaharian alternatif bagi keluarga nelayan.
  1. Arah kebijakan : “Rehabilitasi ekosistem dan pemulihan sumber daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan”. Strategi yang dapat dilakukan melalui :
  1. Rehabilitasi kawasan ekosistem mangrove, kawasan abrasi dan kawasan pesisir dan  laut yang rusak.
  2. Melakukan restocking ikan spesifik lokal secara berkelanjutan.
  3. Memperluas kawasan konservasi daerah dan kawasan perlindungan jenis ikan terancam punah.
  1. Arah kebijakan : “Pengembangan dan pengelolaan budidaya perikanan secara berkelanjutan”. Dilakukan dengan strategi :
  1. Meningkatkan akses pembiayaan bagi nelayan, pembudidaya dan pengolah ikan.
  2. Meningkatkan difusi teknologi budidaya perikanan komoditas unggulan ekspor.
  3. Mengembangkan benih ikan berkualitas.
  4. Mengembangkan pakan ikan mandiri.
  5. Mempermudah izin usaha budidaya perikanan.
  1. Arah kebijakan : “Peningkatan daya saing dan mutu produk hasil perikanan”. Strategi yang dilakukan adalah :
  1. Memperluas penerapan sertifikasi CPIB, CBIB dan sertifikat kelayakan pengolahan (SKP) bagi pelaku usaha.
  2. Mendorong dan memfasilitasi produk perikanan budidaya memasuki pasar ekspor.
  3. Meningkatkan fasilitas pendukung melalui pembangunan integrated cold storage (ICS).
  1. Arah Kebijakan : “Mendorong pembangunan industri pengolahan hasil perikanan  tujuan ekspor”. Strategi yang dilakukan adalah :
  1. Meningkatkan promosi potensi investasi sektor kelautan dan perikanan.
  2. Mempermudah izin investasi.
  3. Membangun infrastruktur pendukung.