Dilema Kode Rekening 5.2.2.29

Admin Website 15-10-2015 Artikel dan Kegiatan Artikel dibaca : 306 kali

Membaca judul diatas, bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Indonesia pada umumnya dan Provinsi Riau pada khususnya bukanlah hal yang sulit untuk menangkap maknanya, karena kode rekening ini menjadi “hot news” sejak beberapa waktu yang lalu. Seperti baru tersadar, beberapa SKPD “rame-rame” mengajukan usulan perubahan untuk tidak “mengutak-atik” kode rekening tersebut, padahal di tahun-tahun sebelumnya belanja pada kode rekening tersebut berjalan lancar tanpa suatu rintangan/halangan yang berarti. “Kegalauan” ini berkembang dari daerah hingga ke Pusat, serta menghabiskan banyak energy, waktu dan biaya. Kementerian Dalam Negeri pun sempat mengeluhkan “kerepotan” mereka untuk melayani pejabat/staf dari daerah dengan motif dan pertanyaan yang sama terkait kode rekening ini.

Di Provinsi Riau sendiri, telah diadakan beberapa pertemuan khusus untuk membahas belanja pada kode rekening tersebut. Bahkan rapat koordinasi teknis SKPD yang semestinya membahas dan mensinergikan berbagai program dan kebijakan pembangunan sektoral berubah menjadi ajang konsultasi untuk membahas khusus kode rekening ini bersama dengan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP). Kode rekening pula yang pada akhirnya menjadi salah satu “kambing hitam” rendahnya serapan/realisasi APBD tahun 2015 ini.

Rekening 5.2.2.29 merupakan rekening Belanja Hibah Barang dan Jasa Kepada Pihak ketiga/Masyarakat yang biasa digunakan SKPD untuk memberikan bantuan berupa bahan, barang, mesin dan peralatan yang dibutuhkan masyarakat. Pemberian bantuan kepada masyarakat ini sebenarnya sudah sejak lama dilakukan oleh beberapa SKPD sebut saja Dinas pertanian dan Peternakan, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas ESDM, Dinas Perkebunan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Cipta Karya, Dinas Koperasi dan UKM, dll.

Ada apa dengan rekening 5.2.2.29?

Semua berawal dengan diberlakukannya Undang-Undang nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah terutama pasal 298 ayat (5) yang menghapus masyarakat sebagai salah satu objek penerima hibah.

(5) Belanja hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan kepada:
a. Pemerintah Pusat;
b. Pemerintah Daerah lain;
c. badan usaha milik negara atau BUMD; dan/atau
d. badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia.

Selanjutnya, sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tersebut, Pemerintah Provinsi Riau menerbitkan Peraturan Gubernur Riau Nomor 64 tahun 2015 Tentang : Pedoman Belanja Hibah dan Belanja Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang diundangkan pada tanggal 1 Juni 2015. Peraturan Gubernur ini tetap tidak mengakomodir “masyarakat’ sebagai objek penerima belanja hibah (pasal 4) dan mengatur lebih detail tentang siapa kelompok masyarakat yang dapat menerima hibah barang tersebut (pasal 6).

Belanja Hibah kepada badan, lembaga dan organisasi kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf d diberikan dengan persyaratan paling sedikit :
a. berbadan hukum Republik Indonesia;
b. memiliki kepengurusan yang jelas, sah dan tidak ganda;
c. telah terdaftar pada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Riau, paling kurang 3 (tiga) tahun, kecuali ditentukan lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. berkedudukan dalam wilayah administrasi pemerintahan Provinsi Riau; dan
e. memiliki Kantor dan/atau alamat tetap dan jelas.

Pada perkembangan selanjutnya, Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri menerbitkan Surat Edaran nomor 900/4627/SJ tanggal 18 Agustus 2015 tentang Penajaman Ketentuan Pasal 298 ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, menegaskan kembali objek penerima hibah dan mendefinisikan kembali badan, lembaga dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia tersebut.

Badan dan lembaga yang berbadan hukum lndonesia adalah:
1) badan dan lembaga kemasyarakatan yang bersifat nirlaba, sukarela dan sosial yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan,
2) badan dan lembaga kemasyarakatan yang bersifat nirlaba, sukarela dan sosial yang telah memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) yang diterbitkan oleh Menteri Dalam Negeri, Gubernur, atau Bupati/Walikota; dan
Organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum lndonesia adalah organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum yayasan atau organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum perkumpulan yang telah mendapatkan pengesahan badan hukum dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan

Walaupun dalam point (10) Surat Edaran Mendagri tersebut disebutkan bahwa pelaksanaan anggaran hibah dan bantuan sosial yang tercantum dalam Perda APBD sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, maka berlaku ketentuan bahwa penyediaan anggaran belanja hibah dan bansos dapat dilaksanakan sesuai maksud Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 dan Permendagri Nomor 39 Tahun 2012. Namun klausal tersebut tidak dapat digunakan karena Perda Nomor 12 Tahun 2014 tentang APBD Provinsi Riau Tahun Anggaran 2015 disahkan pada tanggal 23 Desember 2014, jauh setelah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 di Undangkan pada tanggal 2 Oktober 2014. Artinya untuk pelaksanaan kegiatan APBD Provinsi Riau berlaku ketentuan-ketentuan tentang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tersebut.

Inti permasalahan sesungguhnya bukan hanya pada ketentuan yang mengatur masyarakat secara individu yang tidak dapat menerima hibah saja, namun lebih dari itu bahwa kelompok masyarakat calon penerima bantuan hibah berupa barang yang telah diidentifikasi oleh SKPD belum atau tidak dapat memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Edaran Menteri Dalam Negeri dan Peraturan Gubernur Riau tersebut karena tidak berbadan hukum, tidak memiliki SKT Kepala Daerah, apalagi memiliki pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia. Tidak dapat dipungkiri kenyataan yang ada di lapangan bahwa masyarakat (misalkan saja petani dan perajin) calon penerima hibah yang berada di pedesaan memiliki berbagai keterbatasan. Jangankan untuk berserikat dalam bentuk kelompok yang mapan, komunikasi antar individu pun sulit dilakukan, apalagi jika harus berbadan hukum…..tentu lebih rumit lagi persoalannya. Kenyataan inilah yang sepertinya berada diluar pertimbangan beberapa pasal dari ketentuan/peraturan tersebut, meskipun diakui bahwa pengalaman masa lalu mengajarkan kepada kita bahwa paket-paket bantuan belanja hibah yang diberikan kepada masyarakat seringkali dijadikan ajang korupsi karena tidak selektif, tidak tepat sasaran atau bahkan fiktif sama sekali.

Tapi, “Benarkah penghapusan masyarakat sebagai objek penerima belanja hibah ini merupakan perkara baru yang hanya diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tersebut ? dan Kenapa baru sekarang permasalahan ini menjadi penting?”

Jawaban pertanyaan ini pernah dijelaskan oleh Bapak Jondra J Manurung (Irban Wilayah IV Inspektorat Provinsi Riau) dalam beberapa forum pertemuan. Bahwa sebenarnya penghapusan “masyarakat” sebagai objek penerima hibah telah diatur sebelum diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, tepatnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah. Pasal 8 ayat (1) dengan tegas menyebutkan :

Hibah dari Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dapat diberikan kepada:
a. Pemerintah;
b. Pemerintah Daerah lain;
c. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah; dan/atau
d. badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia.

Bahkan dalam Peraturan Pemerintah yang diundangkan pada tanggal 4 Januari 2012 ini menyebutkan bahwa lembaga dan organisasi kemasyarakat mesti berbadan hukum Indonesia. Dan Jika dipertanyakan kenapa baru sekarang ketentuan ini dipermasalahkan, inilah kekhilafan (kalau tidak ingin disebut kesalahan) berjamaah yang pernah “kita” lakukan dahulu dan tidak boleh diulangi dimasa yang akan datang.

Yang menarik dari pengaturan belanja rekening 5.2.2.29

Dengan tidak bermaksud mempertentangkan beberapa ketentuan yang ada dibalik pengaturan tentang belanja hibah kepada masyarakat ini, kiranya ada hal menarik untuk dibandingkan dari peraturan tersebut. Lebih jelas dapat dilihat dalam matrik berikut ini.

Masyarakat sebagai objek penerima hibah yang semula diatur dalam Permendagri 32 tahun 2011 dihapus pada Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2012 yang diundangkan pada tanggal 4 Januari 2012, dan pada Permendagri 39 tahun 2012 yang diundangkan pada tanggal 22 Mei 2012 masyarakat sebagai objek penerima hibah dimunculkan kembali. Padahal dalam Permendagri 39 tahun 2012 jelas-jelas disebutkan mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2012.

Solusi mengatasi kegalauan

Barangkali pembahasan dan perdebatan tentang dasar dan acuan pelaksanaan belanja hibah pada rekening 5.2.2.29 bukan lagi menjadi hal yang penting pada saat ini, karena pada kenyataannya yang dibutuhkan SKPD adalah kepastian apakah belanja hibah dalam bentuk barang yang akan diserahkan kepada masyarakat dan telah teralokasi dalam program/kegiatan APBD tahun 2015 ini dapat dilaksanakan atau tidak.
Setidaknya ada tiga klasifikasi kondisi SKPD dalam hal ini:

  1. SKPD yang sama sekali belum melaksanakan kegiatan pada rekening 5.2.2.29.
  2. SKPD yang telah melaksanakan sebahagian besar tahapan proses kegiatan pada rekening 5.2.2.29.
  3. SKPD yang telah selesai melaksanakan dan telah menyerahkan belanja hibah kepada masyarakat.

Kondisi inilah yang kemudian mendorong diadakannya pertemuan di ruang Melati Kantor Gubernur Riau pada tanggal 7 Oktober 2015 yang lalu dan dipimpin langsung oleh Asisten II Sekretariat Daerah Provinsi Riau. Hadir dalam pertemuan tersebut narasumber dari BPKP Kantor Perwakilan Riau dan Inspektorat Provinsi Riau serta beberapa kepala SKPD dilingkungan Pemerintah Provinsi Riau. Setelah mendengar keluhan permasalahan dari beberapa kepala SKPD dan mendapat tanggapan dari para narasumber, diperoleh kesimpulan terkait belanja hibah pada rekening 5.2.2.29 sebagai berikut :

  1. Bagi SKPD yang sama sekali belum melaksanakan kegiatan belanja hibah agar tidak melaksanakannya.
  2. Bagi SKPD yang saat ini sedang dalam tahapan proses pelaksanaan kegiatan belanja hibah, dapat terus melaksanakannya namun diminta lebih selektif dalam menentukan objek masyarakat penerima hibah dengan melengkapi dokumen dan persyaratan yang mungkin masih dapat dipenuhi.
  3. Bagi SKPD yang saat ini sudah memasuki proses akhir atau telah selesai melaksanakan pemberian hibah kepada masyarakat diminta untuk melengkapi dokumen pendukung akuntabilitasnya seperti Berita Acara dan dokumentasi.

Dengan kesepakatan akhir ini, apakah semua permasalahan terkait rekening 5.2.2.29 sudah selesai ? tentu saja belum, karena kondisi dan permasalahan di masing-masing SKPD berbeda antara satu dengan yang lainnya. Namun setidaknya telah ada kepastian tentang bagaimana menyikapi permasalahan pelaksanaan Rekening 5.2.2.29 Belanja Hibah Barang dan Jasa Kepada Pihak ketiga/Masyarakat yang telah dianggarkan pada APBD Tahun Anggaran 2015 dan seperti statement akhir pimpinan rapat pada malam itu adalah : kedepan tidak ada lagi pertanyaan “apakah belanja hibah kepada masyarakat/kelompok masyarakat yang belum memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 46 tahun 2015 dapat dilaksanakan atau tidak”.

Tidak maksimalnya realisasi/serapan anggaran di tahun 2015 ini akan menjadi konsekwensi logis yang ada di depan mata, belum lagi komplain dari masyarakat yang terlanjur memperoleh informasi akan adanya bantuan, namun batal menerima. Tapi itu semua akan lebih baik jika dibandingkan dengan konsekuensi hukum yang harus ditanggung jika kita tidak mematuhi ketentuan/peraturan yang telah ditetapkan.

Kerja ini juga belum selesai, karena diperlukan koreksi menyeluruh dari aspek perencanaan program dan kegiatan di seluruh sektor. Masyarakat pasti masih membutuhkan bantuan berupa hibah dari pemerintah, dan oleh karena itu perencanaan di masing-masing SKPD tidak hanya dituntut untuk mampu merencanakan program bantuan yang dibutuhkan masyarakat namun juga harus mampu menyusun program/kegiatan untuk mengarahkan dan membina masyarakat agar mampu membentuk kelompok-kelompok yang kuat secara mandiri. Dan yang terpenting tentunya “kita tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama di masa yang akan datang”.